Marx dan Muhammad adalah dua orang yang dianut banyak umat manusia di dunia ini dalam konteks pemikiran maupun gerakan. Namun membandingkan kedua tokoh ini bukanlah perbandingan yang apple to apple. Marx adalah pemikir yang hidup pada abad ke-19 M, sedangkan Muhammad hidup jauh lebih awal di abad ke- 7 M. Selain itu, Marx adalah pemikir yang hidup disaat barat sedang berada pada masa pencerahan dimana Agama (Kristen) menjadi “tidak laku” setelah “memimpin” di era pertengahan (The Dark  Age) sedangkan Muhammad adalah Rasul yang hidup mengorganisir dan melawan penguasa Makkah yang memonopoli kekuasaan dan Sumber daya ekonomi melaluai kekuatan revolusioner (tauhid) Islam di Makkah.

Seorang Muslim diwajibkan mengakui dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan yang segala bentuk ucapan, tindakan, dan ketetapannya adalah acuan kehidupan seorang Muslim selain Al-Quran. Ia menjadi uswah bagi setiap muslim. Lalu, apa yang harus ditauladani dalam diri Muhammad? Tentu menjadi amat sulit membaca perjuangan Muhammad dalam menyerukan tauhid di abad ke-7 M dan mengkontekstualisasikannya di abad ke-21 ini. Rentang waktu yang amat panjang ini membuat kompleksitas persoalan dan tantangan yang berbeda.

Dalam sejarah Islam, Islam lahir dalam situasi dimana perbudakan merajalela, jurang ketimpangan ekonomi yang menganga dan diskriminasi terhadap perempuan dimana-maana. Tauhid Islam tidak hanya menyatakan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah secara tekstual yang hanya memiliki implikasi teologis yang melangit, namun juga memiliki dampak sosiologis bahwa tidak ada kekuasaan yang mutlak kecuali kekuasaan Tuhan.

Tauhid Islam menuntut kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, penghilangan kelas-kelas sosial, dan menghapus jarak antara yang superior dan inferior. Ini yang menjadikan mengapa kaum kafir Makkah menolak ajaran yang dibawa Muhammad. Bukan hanya persoalan kepada siapa dan apa mereka menyembah, melainkan karena ruh tauhid Islam bisa memporak-porandakan stabilitas ekonomi dan kekuasaan kaum kafir Makkah. Elite penguasa tentu akan merasa terganggu jika ada percik api perlawanan dari masyarakat kelas bawah yang menuntut adanya perubahan. Percik api itu bernama Islam dengan tauhidnya.

Muhammad sebagai penggerak yang melucuti dominasi kaum kafir Makkah tentu adalah sosok yang pandai dan cerdik dalam mengorganisir, memberi pendidikan terhadap apa yang terjadi di Makkah saat itu, hingga pada akhirnya Islam mampu meraih kejayaannya dengan ditandainya pembebasan Makkah. Namun untuk meneladani sosok Muhammad yang terikat dengan ruang dan waktu dalam sejarah kehidupannya beserta konteks ekonomi, sosial dan politik yang berbeda dengan hari ini tentu tidaklah mudah. Menguatnya dan larisnya ideologi neoliberalisme sebagai lanjutan dari kapitalisme global menuntut adanya pembacaan dan penerjemahan ulang terhadap sikap Muhammad, pada masanya, ke dalam konteks permasalahan sekarang. Disinilah seorang Muslim harus meneladani Muhammad melalui (berwasilah) dengan pemikiran Marx.

Poin-poin pemikiran Marx yang saat ini di Indonesia dianggap sebagai hantu yang menakutkan pasca tragedi 1965, sekarang, harus mulai dirubah. Meskipun dalam beberapa poin pemikiran Marx yang tidak bisa dipertemukan dengan Islam karena setting sosial-politik yang melatarbelakangi kelahiran pemikiran Marx, ada irisan yang mempertemukan Marxisme dan Islam dalam sebuah garis perjuangan.

Tan Malaka, Semaun, dan Haji Misbach adalah sederet nama yang telah membuktikan bahwa Islam dan Marxisme bisa berjalan dalam satu garis perjuangan. Sebagaimana Islam yang hendak menghapuskan kelas-kelas sosial, Marx juga mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Persamaan cita-cita inilah yang seharusnya ditonjolkan, bukan perdebatan yang sama sekali tidak menyentuh perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena, kata Marx, perubahan tidak akan terjadi di balik meja kerja filsuf. Pun dengan tauhid, ia bukanlah sebuah keyakinan yang terlepas dari kondisi dan realitas kehidupan. Tauhid adalah keyakinan yang mewujud dalam laku seorang mukmin, bukan hanya sebuah keyakinan yang miskin fondasi akan realitas kehidupan.

Muhammad adalah sosok yang mengidamkan kesetaraan di tengah pertentangan antar suku dan jurang antara elit penguasa dan masyarakat biasa. Ia adalah pemimpin yang mengorganisir dan membebaskan budak dari para tuannya. Masyarakat tanpa kelas adala manifestasi masyarakat tauhid yang menjunjung tinggi egalitarian dan semangat persamaan. Itulah seruan sang rasul.

Pun dengan produk pemikiran Marx yang menyerukan atas persatuan para buruh dalam merebut alat produksi. Ia juga menolak kerja-kerja filsafat yang kontemplatif yang tidak memiliki dampak riil terhadap sebuah masyarakat. Pada akhirnya, Islam dan Marxisme memiliki orientasi yang sama, mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip keadilan.

Disinilah letak relevansinya, bahwa untuk menghadapi problematika kehidupan yang sedang didominasi oleh raksasa kapitalisme, marxisme adalah salah satu jalan (berwasilah) untuk meneladani perjuangan Muhammad sebagai uswah. Dengan Marxisme, Muslim mampu menghadirkan spirit perjuangan Muhammad saat Islam lahir. Bukankah ini yang kita maksud dengan Islam yang kontekstual?

Tinggalkan komentar